Down Syndrome
- Faktor Pejamu
Faktor fisiologis yang sangat mempengaruhi insidensi Down syndrome adalah usia ibu hamil. Meningkatnya usia ibu meningkatkan risiko pembentuk oosit aneuploidi yang kemungkinan disebabkan karena efek penuaan (aging) yang menjadikan sel telur lebih rentan. Efek penuaan sel telur ditambah dengan akumulasi faktor toksik dari lingkungan menyebabkan gangguan pada proses meiosis atau perubahan genetik seperti delesi mitokondria.
Penuaan juga dapat mengganggu segregasi kromosom karena berkurangnya kiasma, defek susunan kiasma, dan gangguan frekuensi kiasma. Penuaan pada indung telur berkaitan dengan penurunan jumlah oosit, penurunan jumlah folikel yang matur pada setiap siklus, dan perubahan keseimbangan hormon reproduksi.
Penuaan indung telur juga berkaitan dengan kadar sinyal hormon yang tidak adekuat dan angka eror pada proses meiosis yang lebih tinggi. Korelasi antara usia ibu saat terjadinya pembuahan dengan kasus trisomi 21 klasik telah ditunjukkan pada beberapa studi dengan populasi dan periode waktu yang berbeda. Risiko mengandung bayi dengan Down syndrome adalah 1 per 1.400 pada ibu dengan usia <25 tahun, yang kemudian dapat meningkat hingga 1 per 350 pada ibu yang hamil pada usia >35 tahun. Angka tersebut terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia ibu mencapai 1 per 85 kelahiran pada ibu usia >40 tahun.
Gangguan pada proses rekombinasi kromosom 21 berhubungan dengan peningkatan proporsi eror yang menyebabkan nondisjunction maternal (kromosom ibu). Studi terhadap rekombinasi pada kromosom 21 menunjukkan hasil tidak adanya pertukaran materi genetik atau hanya telomer tunggal yang mengalami pertukaran akan meningkatkan risiko eror pada meosis I. Sedangkan pertukaran perisentromerik akan meningkatkan risiko eror pada meiosis II. Pertambahan usia ibu memicu proses pertukaran yang tidak optimal sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya nondisjunction.
Faktor genetik juga dipengaruhi oleh faktor paternal (kromosom ayah). Sekitar 10% trisomi 21 disebabkan oleh nondisjunction paternal. Usia ayah yang tua, >49 tahun, memiliki korelasi dengan meningkatnya risiko kelahiran bayi Down syndrome diakibatkan lebih banyak jumlah sperma yang mengalami aneuploidi. Ibu yang memiliki anak dengan Down syndrome memiliki risiko yang lebih tinggi untuk kembali hamil dengan janin yang mengalami Down syndrome, risiko ini justru lebih tinggi pada ibu yang berusia <35 tahun.
2. Faktor Lingkungan
- Paparan terhadap asap rokok: peningkatan insidensi Down syndrome pada wanita <35 tahun.
- Paparan terhadap radiasi pengion: peningkatan insidensi kelahiran Down syndrome setelah peristiwa Chernobyl pada area yang terpapar radiasi di Eropa.
- Paparan terhadap bahan kimia beracun: memicu terjadinya nondisjunction kromosom yang menimbulkan trisomi.
- Defisiensi folat
- Riwayat penggunaan kontrasepsi hormonal.
- Status sosio ekonomi orangtua.
- Efek Dosis Gen (Gene Dosage Effect) yaitu Kelebihan kromosom 21 menyebabkan ekspresi gen 1,5 kali lipat akibat efek dosis gen. Overproduksi protein tertentu yang dikode oleh gen-gen pada kromosom ekstra 21 mengganggu keseimbangan biokimia dan fungsi selular yang penting untuk perkembangan dan fisiologis organ-organ tertentu. Fenotip pasien Down syndrome diduga merupakan hasil langsung dari efek dosis gen. Pada kasus defek kongenital jantung pada Down syndrome didapatkan overekspresi gen DSCAM (Down syndrome cell adhesion molecule) dan COL6A2 (collagen type VI aplha 2 chain) yang berkorelasi dengan kejadian defek septum atrial. Pasien Down syndrome yang mengalami leukemia menunjukkan kelaianan pada gen hematopoietik GATA1. Leukemia pada pasien Down syndrome menunjukkan 3 kelainan yakni trisomi 21, mutasi GATA1, dan gangguan genetik lain yang belum dapat ditentukan. Gen-gen lain yang berkaitan dengan patogenesis Down syndrome adalah DOPEY dan DYRK1A (proses pembelajaran dan memori), TTC3 dan PREP1 (perkembangan neurologis), serta amyloid beta precursor protein/APP, dual specificity tyrosine-Y-phosphorylation regulated kinase 1A/DYRK1A, RCAN1 (risiko penyakit Alzheimer pada Down syndrome).[2,4,5]
- Hipotesis Amplified Developmental Instability mengungkapkan bahwa ekstra kromosom pada Down syndrome mengakibatkan ketidakseimbangan genetik yang menimbulkan gangguan homeostasis regulasi dan ekspresi beberapa gen lain.[6]
- Hipotesis Critical Region mengungkapkan bahwa hanya regio kromosom tertentu pada lengan panjang kromosom 21 yang menyebabkan fenotip Down syndrome. Regio ini dinamakan DSCR (Down syndrome critical region), berukuran 3,8-6,5 Mb yang terletak pada 21q21.22 dan terdiri dari ±30 gen. Analisis molekular pada studi lain menunjukkan regio 21q22.1-q22.3 merupakan critical region Down syndrome, serta memiliki gen yang berkorelasi dengan defek jantung bawaan pasien Down syndrome. Sebuah gen baru, yakni DSCR1, yang diidentifikasi pada regio 21q22.1-q22.2 diyakini sangat terlibat dalam patogenesis Down syndrome karena banyak diekspresikan pada sel otak dan jantung, sehingga berhubungan dengan disabilitas intelektual dan defek jantung. Ekstra gen pada bagian proksimal 21q22.3 memberikan fenotip fisik yang khas meliputi gangguan intelektual, kelainan bentuk wajah yang khas, kelainan bentuk tangan, dan penyakit jantung bawaan yang dapat ditemukan hampir pada separuh pasien Down syndrome.
- Terapi Wicara. Suatu terapi yang di perlukan untuk anak DS yang mengalami keterlambatan bicara dan pemahaman kosakata. Saat ini sudah banyak sekali jenis-jenis terapi selain di atas yang bisa dimanfaatkan untuk tumbuh kembang anak DS misalnya Terapi Okupasi.
- Terapi Remedial. Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan kemampuan akademis dan yang dijadikan acuan terapi ini adalah bahan-bahan pelajaran dari sekolah biasa.
- Terapi Sensori Integrasi. Sensori Integrasi adalah ketidakmampuan mengolah rangsangan / sensori yang diterima. Terapi ini diberikan bagi anak DS yang mengalami gangguan integrasi sensori misalnya pengendalian sikap tubuh, motorik kasar, motorik halus dll.
- Terapi Tingkah Laku (Behaviour Theraphy). Mengajarkan anak DS yang sudah berusia lebih besar agar memahami tingkah laku yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
- https://www.cdc.gov/ncbddd/birthdefects/downsyndrome.html#:~:text=is%20Down%20Syndrome%3F-,Down%20syndrome%20is%20a%20condition%20in%20which%20a%20person%20has,is%20born%20with%2046%20chromosomes.
- https://www.alodokter.com/sindrom-down
- http://repository.unair.ac.id/89288/1/A-Z%20Sindrom%20Down_compressed.pdf
- http://slbn1gunungkidul.sch.id/terapi-untuk-anak-down-syndrom/
IMFI Wilayah II
IMFI atau bisa di sebut dengan Ikatan Mahasiwa Fisioterapi Indonesia adalah sebuah Perkumpulan Mahasiswa Program Studi Fisioterapi di Indonesia. IMFI mengcangkup beberapa daerah yang ada di Indonesia salah satunya IMFI Wilayah II yang berada pada wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat