Articles,  Neuromuskular,  Pediatrik

Down Syndrome

I. Pengertian
Down Syndrome merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kelainan genetic yang paling sering terjadi dan sangat mudah diidentifikasi. Down Syndrome ini terjadi karena terdapat pertambahan kromosom pada kromosom 21. Akibat dari kromosom tersebut adalah jumlah protein menjadi berlebuh atau mengurang sehingga menggangu pertumbuhan normal dari tubuh dan menyebabkan pertumbuhan otak dari pengidapnya berubah dari yang sudah tertata sebelumnya. Selain dari itu hal ini juga Dapat menyebabkan perkembangan fisik yang terlambat, susah untuk belajar, dan bahkan Dapat menyebabkan penyakit jantung dan juga kanker darah.
Ii. Prevalensi
Insiden dari down syndrome diperkirakan 1 di antara 800-1000 kelahiran. Untuk frekuensi kejadian di Indonesia adalah 1 dalam 600 kelahiran yang hidup, dan data WHO memperkirakan 5000 bayi terlahir dengan kondisi ini setiap tahunnya. Untuk dunia sendiri prevalensi kejadian penyakit ini yaitu 10 Down syndrome per 10.000 kelahiran hidup. Prevalensi Down Syndrome ini tergantung dari variable sosial-budaya suatu negara.
Di beberapa negara aborsi merupakan tindakan illegal contohnya Irlandia dan juga Uni Emirat Arab, prevalensi Down Syndrome ini akan Lebih tinggi. Sebaliknya, contoh di negara Prancis, akan melakukan aborsi jika anak tersebut terdeteksi mengalami Down Syndrome maka prevalensi nya menjadi rendah.
Di usia ibu saat hamil memengaruhi risiko melahirkan anak dengan Down Syndrome. Peningkatan angka kejadian Down Syndrome seiring dengan pertambahan usia ibu saat hamil (sumber: Stewart KB, 2007). Karena semakin meningkat usia ibu saat mengandung, semakin besar risiko melahirkan anak yang mengidap penyakit Down Syndrome. Pada saat usia ibu 20-24 tahun, risiko kejadian Down Syndrome ini yaitu 1:1490, jika usia ibu 40 tahun perbandingan kejadian nya yaitu 1:106, dan pada usia 49 tahun sekitar 1:11 kelahiran. Walaupun dengan demikian sekitar 80 % anak dengan Down Syndrome lahir dari ibu yang memiliki usia kurang dari  35 tahun karena usia tersebut merupakan kelomopok usia subur.
Iii. Etiologi
Etiologi Down syndrome (Down syndrome) adalah kegagalan pembelahan kromosom selama proses meiosis atau nondisjunction meiotic. Etiologi lain trisomi 21 adalah akibat isokromosom yang menyebabkan abnormalitas struktur kromosom yang seharusnya memiliki lengan panjang dan pendek menjadi seluruhnya lengan panjang. Proses ini dapat terjadi pada perkembangan sel telur atau sperma. Selain itu, trisomi 21 juga dapat timbul akibat translokasi Robertsonian di mana lengan panjang kromosom 21 menempel dengan kromosom lain.
Tiga tipe Down syndrome yang sering dijumpai adalah :
1. Trisomi 21 Klasik
Trisomi 21 klasik terdiri dari 3 salinan lengkap kromosom 21, sehingga pasien Down syndrome tipe ini memiliki 47 kromosom. Trisomi 21 klasik merupakan bentuk kelainan yang paling sering ditemukan pada pasien Down syndrome (95%).
2. Translokasi
Sekitar 5% pasien Down syndrome disebabkan karena kelainan translokasi kromosom. Translokasi kromosom menghasilkan 2 salinan normal kromosom 21 dan materi kromosom 21 yang melekat pada lengan kromosom lain, misalnya kromosom 13, 14, 15, dan 22. Pasien Down syndrome tipe ini tetap memiliki 46 kromosom. Translokasi dapat terjadi secara de novo (baru) atau di salah satu orang tua (kebanyakan ibu) dengan fenotip normal namun hanya memiliki 45 kromosom.
3. Mosaik
Pada Down syndrome tipe mosaik, nondisjunction terjadi setelah proses pembuahan, sehingga trisomi 21 hanya terjadi pada beberapa sel tubuh saja. Gejala klinis dan gangguan medis yang timbul umumnya lebih ringan dibandingkan dengan 2 tipe Down syndrome lainnya.
Faktor risiko Down syndrome melibatkan faktor pejamu dan faktor lingkungan sebagai berikut:
  1. Faktor Pejamu

Faktor fisiologis yang sangat mempengaruhi insidensi Down syndrome adalah usia ibu hamil. Meningkatnya usia ibu meningkatkan risiko pembentuk oosit aneuploidi yang kemungkinan disebabkan karena efek penuaan (aging) yang menjadikan sel telur lebih rentan. Efek penuaan sel telur ditambah dengan akumulasi faktor toksik dari lingkungan menyebabkan gangguan pada proses meiosis atau perubahan genetik seperti delesi mitokondria.

Penuaan juga dapat mengganggu segregasi kromosom karena berkurangnya kiasma, defek susunan kiasma, dan gangguan frekuensi kiasma. Penuaan pada indung telur berkaitan dengan penurunan jumlah oosit, penurunan jumlah folikel yang matur pada setiap siklus, dan perubahan keseimbangan hormon reproduksi.

Penuaan indung telur juga berkaitan dengan kadar sinyal hormon yang tidak adekuat dan angka eror pada proses meiosis yang lebih tinggi. Korelasi antara usia ibu saat terjadinya pembuahan dengan kasus trisomi 21 klasik telah ditunjukkan pada beberapa studi dengan populasi dan periode waktu yang berbeda. Risiko mengandung bayi dengan Down syndrome adalah 1 per 1.400 pada ibu dengan usia <25 tahun, yang kemudian dapat meningkat hingga 1 per 350 pada ibu yang hamil pada usia >35 tahun. Angka tersebut terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia ibu mencapai 1 per 85 kelahiran pada ibu usia >40 tahun.

Gangguan pada proses rekombinasi kromosom 21 berhubungan dengan peningkatan proporsi eror yang menyebabkan nondisjunction maternal (kromosom ibu). Studi terhadap rekombinasi pada kromosom 21 menunjukkan hasil tidak adanya pertukaran materi genetik atau hanya telomer tunggal yang mengalami pertukaran akan meningkatkan risiko eror pada meosis I. Sedangkan pertukaran perisentromerik akan meningkatkan risiko eror pada meiosis II. Pertambahan usia ibu memicu proses pertukaran yang tidak optimal sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya nondisjunction.

Faktor genetik juga dipengaruhi oleh faktor paternal (kromosom ayah). Sekitar 10% trisomi 21 disebabkan oleh nondisjunction paternal. Usia ayah yang tua, >49 tahun, memiliki korelasi dengan meningkatnya risiko kelahiran bayi Down syndrome diakibatkan lebih banyak jumlah sperma yang mengalami aneuploidi. Ibu yang memiliki anak dengan Down syndrome memiliki risiko yang lebih tinggi untuk kembali hamil dengan janin yang mengalami Down syndrome, risiko ini justru lebih tinggi pada ibu yang berusia <35 tahun.

 

2. Faktor Lingkungan

    • Paparan terhadap asap rokok: peningkatan insidensi Down syndrome pada wanita <35 tahun.
    • Paparan terhadap radiasi pengion: peningkatan insidensi kelahiran Down syndrome setelah peristiwa Chernobyl pada area yang terpapar radiasi di Eropa.
    • Paparan terhadap bahan kimia beracun: memicu terjadinya nondisjunction kromosom yang menimbulkan trisomi.
    • Defisiensi folat
    • Riwayat penggunaan kontrasepsi hormonal.
    • Status sosio ekonomi orangtua.
iv. Patofisiologi
Patofisiologi Down syndrome diawali dengan adanya kromosom tambahan pada kromosom autosomal 21. Kromosom ekstra tersebut dapat muncul akibat kegagalan pemisahan kromosom saat proses gametogenesis (nondisjunction), akibat translokasi, ataupun mosaicism. Pada kasus yang sangat langka trisomi 21 dapat timbul akibat isokromosom yakni kondisi dimana terjadi duplikasi pada salah satu lengan kromosom 21 bersamaan dengan delesi lengan kromosom tersebut. Ekstra kromosom pada kromosom 21 tersebut menyebabkan kelainan ekspresi gen dengan manifestasi yang bervariasi pada beberapa sistem organ dan menimbulkan variasi fenotip pada pasien Down syndrome.
Ada beberapa hipotesis dalam patogenesis molekular Down syndrome yakni efek dosis gen (gene-dosage effect), instabilitas perkembangan yang diperkuat (amplified developmental instability), dan critical region.
  • Efek Dosis Gen (Gene Dosage Effect) yaitu Kelebihan kromosom 21 menyebabkan ekspresi gen 1,5 kali lipat akibat efek dosis gen. Overproduksi protein tertentu yang dikode oleh gen-gen pada kromosom ekstra 21 mengganggu keseimbangan biokimia  dan fungsi selular yang penting untuk perkembangan dan fisiologis organ-organ tertentu. Fenotip pasien Down syndrome diduga merupakan hasil langsung dari efek dosis gen. Pada kasus defek kongenital jantung pada Down syndrome didapatkan overekspresi gen DSCAM (Down syndrome cell adhesion molecule) dan COL6A2 (collagen type VI aplha 2 chain) yang berkorelasi dengan kejadian defek septum atrial. Pasien Down syndrome yang mengalami leukemia menunjukkan kelaianan pada gen hematopoietik GATA1. Leukemia pada pasien Down syndrome menunjukkan 3 kelainan yakni trisomi 21, mutasi GATA1, dan gangguan genetik lain yang belum dapat ditentukan. Gen-gen lain yang berkaitan dengan patogenesis Down syndrome adalah DOPEY dan DYRK1A (proses pembelajaran dan memori), TTC3 dan PREP1 (perkembangan neurologis), serta amyloid beta precursor protein/APP, dual specificity tyrosine-Y-phosphorylation regulated kinase 1A/DYRK1A, RCAN1 (risiko penyakit Alzheimer pada Down syndrome).[2,4,5]
 
  • Hipotesis Amplified Developmental Instability mengungkapkan bahwa ekstra kromosom pada Down syndrome mengakibatkan ketidakseimbangan genetik yang menimbulkan gangguan homeostasis regulasi dan ekspresi beberapa gen lain.[6]
 
  • Hipotesis Critical Region mengungkapkan bahwa hanya regio kromosom tertentu pada lengan panjang kromosom 21 yang menyebabkan fenotip Down syndrome. Regio ini dinamakan DSCR (Down syndrome critical region), berukuran 3,8-6,5 Mb yang terletak pada 21q21.22 dan terdiri dari ±30 gen. Analisis molekular pada studi lain menunjukkan regio 21q22.1-q22.3 merupakan critical region Down syndrome, serta memiliki gen yang berkorelasi dengan defek jantung bawaan pasien Down syndrome. Sebuah gen baru, yakni DSCR1, yang diidentifikasi pada regio 21q22.1-q22.2 diyakini sangat terlibat dalam patogenesis Down syndrome karena banyak diekspresikan pada sel otak dan jantung, sehingga berhubungan dengan disabilitas intelektual dan defek jantung. Ekstra gen pada bagian proksimal 21q22.3 memberikan fenotip fisik yang khas meliputi gangguan intelektual, kelainan bentuk wajah yang khas, kelainan bentuk tangan, dan penyakit jantung bawaan yang dapat ditemukan hampir pada separuh pasien Down syndrome.
V. diagnosis banding
Diagnosis banding Down syndrome adalah trisomi 18 (Edward syndrome) dan hipotiroidisme kongenital.
1. Trisimo 18
Pasien trisomi 18 atau Edward syndrome memiliki gangguan pertumbuhan dan perkembangan psikomotor yang lebih berat dibanding pasien Down syndrome. Tanda fisik khas yang dapat ditemukan berupa ukuran kepala yang kecil (microcephaly), ukuran mata yang kecil, rahang bawah yang kecil atau menjorok ke dalam (micrognathia atau retrognathia), jari-jari tangan yang saling menumpuk (clenched hand), bagian calcaneus yang menonjol (rocker-bottom foot).
2. Hipotiroidisme Kongenital
Neonatus dengan hipotiroidisme kongenital terkadang memiliki tanda fisik seperti makroglosia, hernia umbilikalis, dan kulit yang kering seperti neonatus dengan Down syndrome. Gangguan perkembangan dan defek kongenital jantung juga dapat ditemukan pada anak dengan hipotiroidisme kongenital. Analisis kromosom dan skrining TSH dan T4 dapat digunakan untuk mendeteksi kelainan tersebut.
Vi. pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk Down syndrome meliputi skrining periode prenatal dan pemeriksaan diagnostik postnatal.
1. Pemeriksaan Diagnostik Postnatal
Dilakukan menggunakan pemeriksaan sitogenetik. Anak dengan Down syndrome juga perlu menjalani pemeriksaan lainnya, seperti echocardiography dan tes pendengaran menggunakan auditory brainstem response (ABR).
2. Pemeriksaan Sitogenetik
Karyotyping merupakan pemeriksaan sitogenetik definitif untuk menegakkan diagnosis Down syndrome serta membedakan tipe Down syndrome yakni trisomi 21 klasik, translokasi, atau mosaik. Karyotyping untuk diagnosis Down syndrome dapat menggunakan sampel dari pemeriksaan chorionic villus sampling (CVS), amniosentesis, atau dilakukan dengan mengambil sampel darah neonatus yang dicurigai menderita Down syndrome.
3. Ultrasonografi
Nuchal translucency (NT) merupakan tanda yang ditemukan pada pemeriksaan ultrasonografi untuk skrining Down syndrome. NT merupakan marker pertama yang ditemukan berkorelasi dengan kejadian Down syndrome. NT merupakan penumpukan cairan pada area subkutan yang ditandai dengan penebalan nuchal fold (area belakang leher) ≥ 6 mm pada trimester kedua atau ≥ 3 mm pada trimester pertama.
Vii. peranan fisioterapi
Penanganan fisioterapi menggunakan tahap perkembangan motorik kasar untuk mencapai manfaat yang maksimal. Tujuan dari fisioterapi adalah membantu anak mencapai perkembangan terpenting secara maksimal, yang berarti bukan untuk menyembuhkan penyakit down syndromenya. Dan ini harus dikomunikasikan sejak dari awal antara fisioterapis dengan pengasuhnya supaya tujuan terapi tercapai. Fisioterapi pada Down Syndrom adalah membantu anak belajar untuk menggerakkan tubuhnya dengan cara/gerakan yang tepat (appropriate ways). Misalkan saja hypotonia pada anak dengan Down Syndrome dapat menyebabkan pasien berjalan dengan cara yang salah yang dapat mengganggu posturnya, hal ini disebut sebagai kompensasi.
  1. Terapi Wicara. Suatu terapi yang di perlukan untuk anak DS yang mengalami keterlambatan bicara dan pemahaman kosakata. Saat ini sudah banyak sekali jenis-jenis terapi selain di atas yang bisa dimanfaatkan untuk tumbuh kembang anak DS misalnya Terapi Okupasi.
  2. Terapi Remedial. Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan kemampuan akademis dan yang dijadikan acuan terapi ini adalah bahan-bahan pelajaran dari sekolah biasa.
  3. Terapi Sensori Integrasi. Sensori Integrasi adalah ketidakmampuan mengolah rangsangan / sensori yang diterima. Terapi ini diberikan bagi anak DS yang mengalami gangguan integrasi sensori misalnya pengendalian sikap tubuh, motorik kasar, motorik halus dll.
  4. Terapi Tingkah Laku (Behaviour Theraphy). Mengajarkan anak DS yang sudah berusia lebih besar agar memahami tingkah laku yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku di masyarakat.

IMFI atau bisa di sebut dengan Ikatan Mahasiwa Fisioterapi Indonesia adalah sebuah Perkumpulan Mahasiswa Program Studi Fisioterapi di Indonesia. IMFI mengcangkup beberapa daerah yang ada di Indonesia salah satunya IMFI Wilayah II yang berada pada wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *